Klenteng, Kerajinan, dan Kuliner di Pecinan Semarang
Halo!
Jumat, 29 November 2019 saya ambil private walking tour Bersukariawalk di Pecinan. Ternyata lebih asyik private karena lebih nyaman, santai, dan fokus mau ambil foto dan mendengarkan story teller. Coba deh kapan-kapan Teman Jalan ikut private walking tour.
Cuaca hari itu, ya bersyukur dikasih panas 😄
Pecinan memang tidak ada habisnya untuk diceritakan jadi seperti biasa, saya ambil yang menarik ya sekaligus mau berbagi satu objek yang menjadi favorit saya di Pecinan 😊
Semarang Walking Tour
PECINAN
Rute: Titik temu di Klenteng Tay Kak Sie ➝ Kalikuping ➝ Toko Obat Panca Jaya ➝ Rasa Dharma ➝ Klenteng Hok Tik Bio ➝ Pia Bayi ➝ Klenteng Sinar Samudera ➝ Tugu Merah (tugu di samping Klenteng Sinar Samudera) ➝ Klenteng Keluarga Tan ➝ Rumah Kopi ➝ Klenteng Sioe Hok Bio ➝ Gang Baru ➝ Klenteng Hoo Hok Bio ➝ Rumah Kertas ➝ Perajin Bong (kerajinan batu nisan) ➝ Gang Warung/Pasar Semawis
Pecinan
Pada awalnya masyarakat Tionghoa yang ada di Semarang bermukim di Gedung Batu, Simongan. Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap Belanda di Batavia, yang dikenal dengan peristiwa Geger Pecinan. Orang-orang Tionghoa yang berhasil selamat melarikan diri ke Semarang lalu kembali menyatakan perlawanan terhadap Belanda.
Belanda yang telah berhasil menumpas perlawanan tersebut akhirnya memutuskan untuk memindahkan mereka dari Simongan ke kawasan yang saat ini dikenal dengan nama Pecinan. Tujuan Belanda melakukannya agar Belanda mudah mengawasi pergerakan mereka karena kawasannya berdekatan dengan tangsi militer yang sekarang menjadi Semarang Plasa.
Warga Tionghoa yang bermukim di Pecinan Semarang saat itu diberi aturan Passenstelsel, yang mengharuskan adanya surat ijin (seperti paspor) untuk keluar-masuk kawasan Pecinan. Jika orang tersebut kembali ke kawasan Pecinan melebihi waktu yang ditetapkan, maka orang tersebut harus menginap sementara di pos keamanan.
Surat Ijin (paspor) Warga Tionghoa Gambar: Bersukariawalk |
Klenteng Tay Kak Sie
Klenteng ini awalnya berlokasi di Gang Gambiran pada tahun 1746, lalu terjadi kebakaran pada tahun 1753. Pada tahun 1771 klenteng dipindahkan ke Gang Lombok. Klenteng Tay Kak Sie ini termasuk kuil besar, strata tertinggi (seperti istana) dari klenteng lainnya. Dulu atap klenteng berwarna ungu yang melambangkan strata tertinggi.
Klenteng Tay Kak Sie Gambar: Bersukariawalk |
Klenteng Tay Kak Sie Dulu dan Kini Gambar: Bersukariawalk |
Teman Jalan pasti punya pikiran jika orang-orang Tionghoa menyembah dewa, kita koreksi bersama, ya. Dewa-dewa dalam kepercayaan Tionghoa adalah orang-orang yang telah diangkat menjadi dewa, yang memiliki jasa terhadap lingkungan hidup baik dalam ilmu pengetahuan/sastra, keadilan, perlindungan, pengobatan, dan aspek kehidupan lainnya. Orang-orang Tionghoa sembahyang pada dewa-dewa sebagai wujud penghormatan.
Hal unik yang saya temui adalah sarana komunikasi untuk berkonsultasi pada dewa-dewa yang ada di Tay Kak Sie, yaitu dengan cara ciam sie. Konsultasi di sini lebih merujuk pada pertimbangan keputusan yang akan diambil apakah baik, buruk, atau timbul keraguan lalu langkah apa yang bisa diambil. Pertimbangan itu akan terlihat dari poa poe. Jika poa poe sama-sama terbuka berarti tidak, jika keduanya tertutup artinya ragu-ragu, dan jika salah satu terbuka artinya iya.
Jika Teman Jalan belum tahu dewa mana yang cocok untuk ciam sie sesuai permohonan/permasalahan yang dimiliki dan tata cara ciam sie sebaiknya berkonsultasi dulu dengan pengurus klenteng Tay Kak Sie, nanti mereka akan membantu tata caranya.
Poa Poe Foto: dokumentasi pribadi, 9/2018 |
Kalau bercerita tentang Tay Kak Sie bakalan jadi panjang, jadi saya batasi sampai di sini. Keunikan lain yang saya temui adalah hiasan ornamen seperti bunga, binatang, dan tumbuhan di atap klenteng yaitu ornamennya terbuat dari pecahan kaca warna-warni yang disusun. Tidak lupa sosok Oei Tiong Ham juga berperan dalam memindahkan sebuah patung altar dari Simongan ke klenteng Tay Kak Sie, yaitu patung Sam Poo Kong.
Ornamen Atap Klenteng Tay Kak Sie Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Toko Obat Panca Jaya
Jika Teman Jalan punya penyakit, lalu setelah berkonsultasi lewat ciam sie dan mendapat resep obat tradisional jangan khawatir bagaimana mendapatkan bahan-bahan obat tersebut. Teman Jalan bisa mendapatkannya di toko obat Panca Jaya, mereka menyediakan beragam bahan-bahan obat herbal tradisional Tionghoa.
Toko Obat Panca Jaya Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Toko Obat Panca Jaya (Ngo Hok Tong) Gambar: Bersukariawalk |
Kalikuping
Ha? Kalikuping? Banyak kuping orang? Bisik-bisik tetangga? Tidak ada hubungannya dengan kuping orang. Nama Kuping berasal dari nama pengusaha bernama Khouw Ping yang memiliki banyak gudang di sekitar pinggir Kali Semarang berseberangan dengan Klenteng Tay Kak Sie. Dari Khouw Ping menjadi Koping, lalu berubah menjadi Kuping sampai sekarang.
Gambar: Bersukariawalk |
Pintu belakang di sepanjang Kalikuping ini menghadap kali agar penghuninya mudah keluar-masuk rumah saat menggunakan transportasi air di Kali Semarang. Rumah-rumah dengan pintu belakang seperti ini bisa Teman Jalan temukan juga di sekitar Layur.
Waktu itu ada tiang-tiang pijakan untuk latihan Barongsai di pinggir kali, gunanya untuk melatih keseimbangan dan fokus para pemain Barongsai. Terbayang kalau saya yang latihan belum apa-apa sudah tercebur ke kali duluan 😁
Pia Bayi
Pia Bayi lebih tepatnya Pia Cap Bayi, dinamakan cap bayi karena untuk mengingat momen kelahiran bayi pemilik usaha Pia Cap Bayi. Toko ini juga menjual moon cake.
Gambar: Google Business Pia Cap Bayi (Tjiang Goan) |
Ada cerita menarik mengenai moon cake pada saat masa pendudukan Belanda. Para pejuang memanfaatkan moon cake untuk bertukar informasi dengan cara menggulung kertas kecil dan memasukkannya ke bagian dalam moon cake. Para pejuang menggunakan cara tersebut karena Belanda masih menghormati moon cake sebagai bagian dari perlengkapan ibadah yang dianggap suci oleh Belanda sehingga Belanda enggan untuk merusaknya.
Tugu Merah
Kurang tahu namanya apa, saya menyebutnya Tugu Merah karena berwarna merah. Tugu ini dulunya berfungsi sebagai tugu untuk menempel pengumuman, kalau sekarang 'kan papan pengumuman. Di puncak tugu terdapat patung shio yang disesuaikan dengan pergantian tahun kalender Lunar. Di permukaan tugu juga terdapat gambar-gambar shio.
Tugu Merah Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Tugu Merah Foto: dokumentasi pribadi, 12/2019 |
Tugu Merah Foto: dokumentasi pribadi, 12/2019 |
Rumah Kopi
Rumah Kopi ini adalah pabrik kopi dan menjual berbagai jenis asal kopi yang dibeli langsung dari petani di berbagai daerah di Indonesia. Teman Jalan bisa membeli kopi langsung di sini, memilih arabika dan robusta, lalu dibakar sesuai dengan keinginan dari light, medium, dan dark. Tidak hanya itu, Teman Jalan juga bisa memilih seberapa halusnya biji kopi tersebut digiling.
Mereka masih memakai alat bakar dan alat giling kuno. Saya suka kopi jadi saya sangat tertarik dengan tempat ini. Aroma ruangannya beraroma kopi.
Rumah Kopi Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Alat Bakar Biji Kopi Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Gang Baru
Gang Baru adalah surga untuk saya pribadi, cari bahan makanan, jajanan, manisan, dan makanan hantaran pernikahan juga ada. Kali ini saya berkesempatan jajan Es Gempol Pleret dan buah siwalan, cocok untuk cuaca panas. Es Gempol Pleretnya tidak saya foto karena baru ingat belum difoto setelah habis, hehe.
Es Gempol Pleret Gang Baru Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Daging Buah Siwalan Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Buah Siwalan Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Awal adanya Gang Baru karena adanya aturan pembatasan kawasan bagi masyarakat Tionghoa, maka masyarakat Tionghoa meminta pedagang-pedagang pribumi untuk berdagang di depan toko atau rumah toko mereka di Gang Baru. Bagaimana pun juga masyarakat Tionghoa membutuhkan sarana penghidupan selain dari dalam kawasan Pecinan sendiri. Sampai sekarang masih terlihat bahwa toko atau rumah toko dimiliki Tionghoa sedangkan pedagang di lapak-lapak yang ada di sepanjang Gang Baru adalah orang-orang Jawa atau luar Pecinan.
Gambar: Bersukariawalk |
Rumah Kertas
Tempat favorit saya di Pecinan karena masih ada perajin rumah kertas untuk upacara pembakaran. Rumah kertas menjadi bagian dari unsur sistem religi masyarakat Tionghoa. Bagi masyarakat Tionghoa kertas berfungsi sebagai alat tulis, dan sebagai bahan dasar barang sehari-hari atau keperluan ritual. Replika rumah kertas merupakan satu dari sekian banyak media yang dipakai dalam upcara tradisional masyarakat Tionghoa untuk memberikan penghormatan pada leluhur mereka.
Konsespsi hidup setelah mati merupakan bentuk dari sistem kepercayaan. Replika (bentuk tiruan) rumah kertas ini nantinya akan dibakar saat peringatan kematian kerabat atau leluhur. Abu hasil pembakaran replika rumah kertas dan perlengkapannya dilarung di laut sebagai wujud kesempurnaan pengiriman bekal arwah kerabat atau leluhur.
Usaha Rumah Kertas di Gang Cilik No. 4 yang dijalankan secara turun-temurunm saat ini dijalankan oleh Ong Bing Hok sebagai generasi keempat di keluarganya. Hal yang menarik dari beliau adalah masih mempertahankan Rumah Kertas dan melestarikan tradisi budaya Tionghoa melalui usaha pembuatan replika rumah kertas dan perlengkapannya.
Ong Bing Hok Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Seorang Karyawan di Rumah Kertas Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Replika Rumah Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Replika Uang Emas Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Upacara pembakaran menggunakan perhitungan hari setelah kematian kerabat seperti pada masyarakat Jawa, seperti tiga hari, tujuh hari, dan 100 hari, menariknya adalah perhitungan hari yang berbeda yaitu peringatan hari ke-49. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa pada hari tersebut arwah leluhur sudah naik ke kahyangan.
Tidak hanya dari Semarang saja, banyak pemesan replika rumah kertas dan perlengkapannya berasal dari sekitar Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Asal daerah pemesan tersebut membuktikan bahwa masih ada yang menjalankan tradisi upcara pembakaran.
Keunikan lainnya adalah setiap replika rumah kertas memiliki 'sertifikat rumah' yang ditulis tangan sendiri oleh Ong Bing Hok dalam bahasa dan aksara Hokkian. Generasi sekarang tidak mengenal bahasa dan aksara Hokkian, ini juga yang menjadi salah satu motivasi Ong Bing Hok untuk melestarikan Rumah Kertas.
Gang Warung
Surga ke dua di Pecinan saat akhir minggu bagi saya karena ada Pasar Semawis yang menjajakan berbagai macam makanan, minuma, dan jajanan dengan harga yang sesuai dengan porsi dan rasa yang disajikan.
Awal mula adanya Pasar Semawis karena adanya gelaran festival Pasar Imlek yang diadakan selama tiga hari, lima hari, dan 10 hari. Dengan banyaknya peminat Pasar Semawis maka Pasar Semawis diadakan setiap akhir minggu.
FYI
Teman Jalan sering melihat buah, makanan ringan, bahkan minuman seperti teh di meja altar klenteng, pasti Teman Jalan berpikir bahwa itu adalah sesaji seperti dalam kepercayaan agama Hindu. Ternyata pemikiran kita selama ini salah. Mari kita koreksi bersama, ya.
Perlengkapan Sembahyang Foto: dokumentasi pribadi, 9/2018 |
Teman Jalan lihat di foto atas ada kertas putih bercorak garis emas, kuning, dan merah, itu adalah uang kertas yang akan dibakar setelah melakukan sembahyang. Uang kertas ini berbeda dengan replika uang emas kertas dari Rumah Kertas, ya.
Lembaran Uang Kertas Foto: dokumentasi pribadi, 9/2018 |
Uang Kertas Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Apakah ada perajin di Pecinan selain perajin replika rumah kertas? Ada dong! Ada perajin topeng barongsai dan perajin batu nisan (bong). Tanggal 29 November 2019 kebetulan ada perajin topeng barongsai di pinggir jalan sedang membuat kerajinan topeng barongsai.
Perajin Topeng Barongsai Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
Salah Satu Hiasan Pahat Bong Foto: dokumentasi pribadi, 12/2017 |
2 Tempat Pembuatan Bong di Gang Gambiran Gambar: Bersukariawalk |
Terima kasih, mbak Nadin, sudah jadi storyteller saya!
Mbak Nadin-Storyteller Bersukariawalk Foto: dokumentasi pribadi, 11/2019 |
- Bekal uang jajan
- Persiapkan kamera, jangan lupa isi penuh baterainya karena Pecinan itu bagus untuk fotografi
- Jalan-jalan saat pagi hari karena waktunya cocok untuk foto dan jajan di Gang Baru
- Jalan-jalan saat sore hari, nanti titik akhir di Pasar Semawis jadi bisa langsung jajan dan makan malam