Liburan Sendiri di Bali (1)

Hai, Teman Jalan!
Semoga kalian selalu menjaga kesehatan di masa stay at home ini, ya!

Saya menulis mengenai liburan saya di Bali pada tahun 2016, haha, sempat bersih-bersih laptop menemukan draft ini yang saya tulis dan tersimpan sejak tahun 2016. Saya bagi dalam dua postingan, ya 😁

BALI




29 November 2016

Satu hari setelah resign dari kantor langsung liburan 😁. Setelah hampir tiga tahun kerja dan berstatus fakir piknik akhirnya bisa liburan tanpa memikirkan pekerjaan. Liburannya disesuaikan dengan budget saya jadi Teman Jalan bisa menyesuaikan hotel, tiket pesawat, makan, dan daya tarik wisata sesuai budget, keinginan, dan kebutuhan Teman Jalan sendiri 😉. Jadikan ini sebagai referensi saja, ya.

Terbang dengan Garuda Indonesia dari bandara Ahmad Yani Semarang, pertama kali naik Garuda Indonesia pakai uang sendiri dan pertama kali terbang lagi setelah lima tahun tidak piknik overland. Senang? Pasti! Apalagi dapat tiket promo yang sesuai budget, hehe. Senyum terus sepanjang perjalanan. Sampai di Bali pukul 16.30 WITA, dijemput bli Kadek yang akan menemani saya selama dua hari di Bali.

Yuk, mulai jalan-jalan!

Brown Feather by The Gala Hotel

Tiba di hotel daerah Petitenget, Seminyak, sekitar pukul 17.48 WITA. Pertama kali masuk ke hotel ini seperti rumah sendiri. Saya suka desain interior yang vintage dan suasananya nyaman banget. Jujur, hotel ini meninggalkan kesan yang baik bahkan sampai sekarang menjadi hotel yang sangat saya sukai, susah move on.

Awalnya sempat pesimis dengan ketersediaan kamar dengan balkon dan pemandangan sawahnya karena itu adalah kamar favorit. Setelah konfirmasi dengan pihak hotel melalui telepon dan chat FB, akhirnya saya bisa mendapatkan kamar tersebut dengan upgrade kamar. Wow jelas bahagia, kapan lagi dapat kamar itu kalau tidak deal sekarang, memang belajar untuk optimis dulu dari awal.

Booklet Brown Feather Hotel
foto: dokumentasi pribadi (2016)

Brown Feather Hotel
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Datang di hotel disambut resepsionis, saya diberi welcome drink. Di kamar telah disediakan peta lokasi restoran dan cafe sepanjang Batubelig serta kertas berisi aturan selama menginap di hotel. Bagi saya, mereka sangat informatif dalam membantu saya yang masih buta dengan daerah Batubelig.

Banyak teman yang menyayangkan saya menginap di daerah ini karena sepi dan jauh dari keramaian, justru itu yang saya cari karena saya bukan tipe 'tim hore' yang suka keramaian.

Sayangnya saat itu hujan jadi saya tidak bisa nongkrong di balkon karena balkonnya terbuka. Kasurnya benar-benar empuk dan nyaman untuk tidur. Toiletries lengkap tapi sabun dan sampo tidak boleh dibawa pulang karena dalam bentuk pump bottle, kalau ingin dibawa pulang Teman Jalan membelinya di depan meja resepsionis. Bagi saya, hotel ini memenuhi ekspektasi saya mulai dari pelayanan, kamar, sampai suasananya. Teman Jalan ingin hotel dengan suasana private saya rekomendasikan hotel ini.

Brown Feather Hotel
foto: dokumentasi pribadi

Apakah saya akan kembali ke hotel ini suatu saat nanti? DEFENITELY YES!

Restoran dan cafe mudah didapatkan sepanjang jalan Batubelig dari yang murah rasa tradisional sampai yang mahal jadi jangan khawatir tidak bisa makan. Bagi Teman Jalan yang tidak makan daging babi juga jangan khawatir karena semua restoran sudah memberi tanda peringatan tentang hal ini.

Setelah makan malam, saya ingin minum red wine untuk merayakan liburan, ternyata ada di bar sebelah hotel hanya selisih satu bangunan, namanya BOW (Bar of Wine) cukup mudah menemukan bar ini karena terletak di pinggir jalan dan eksterirornya yang nyentrik. Lumayan dapat sebotol wine dengan harga yang terjangkau. Di lantai satu ada ruangan terbuka untuk bermain game dengan teman dan sekadar nongkrong, lalu lantai atas ada restorannya.

Bar of Wine
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Bar of Wine
foto: dokumentasi pribadi
(11/2016)
Salah satu sudut Bar of Wine
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

30 November 2016

Setelah kemarin rebahan di hotel yang 'aku banget', saatnya jalan-jalan seharian. Saya mengunjungi daya tarik wisata yang belum pernah dan yang hanya ingin saya kunjungi di Bali. Sebelumnya, maaf ya Teman Jalan, karena saya bukan anak pantai jadi pantai tidak ada di dalam daftar, hehe.

.TEMU (Titik Temu)

Saya check-out hotel pukul 07.30 WITA, lebih pagi lebih baik. Saya tidak sarapan di hotel, memang dapat sarapan tapi saya lewatkan. Saya memilih sarapan di .TEMU (Titik TEMU) Seminyak untuk mencari menu selain daging dan tentu cari smoothies untuk sarapan pagi.

Tahu Titik TEMU dari Instagram, memang Instagram membantu sekali kalau ingin mencari tempat makan dan hangout yang lagi hits. Sampai di Titik Temu sekitar pukul 08.15 WITA, tempatnya tersembunyi di belakang toko baju makanya disebut hidden gem.

Depan Titik Temu
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Salah satu sudut Titik Temu
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Waktu saya datang baru buka tiga meja dan masih ada renovasi jadi tempatnya terbatas tapi tidak menurukan suasana hati saya untuk sarapan di sini. Menu sarapan saya jatuh pada Mushroom and Cheese Omelette dan Smoothies, ternyata porsinya besar bisa untuk dua orang 😉 Maaf, fotonya buram tapi ini enak banget, haha.

Mushroom and Cheese Omelette
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Selesai sarapan lanjut ke Desa Panglipuran, Bangli, ingin ke tempat ini karena penasaran suasananya dan membuktikan benar gak sih desa ini bersih dan rapi jali sesuai cerita teman-teman yang sudah pernah ke desa ini. Jalan menuju desa ini cukup membuat saya terkejut karena jarangnya lampu penerangan jalan dan ada angkutan umum yang warnanya orange-putih sama seperti angkutan umum Semarang (daihatsu) C8 Karangayu-Penggaron PP 😄

Satu pertanyaan muncul, saya bertanya ke bli Kadek ada gak ya bus seperti TransJakarta, TransSemarang (BRT), atau bus Batik Solo kalau tidak salah di Bali ada bus Sarbagita tapi sepanjang perjalanan dari Seminyak tidak terlihat. Bali sendiri jarang sekali angkutan kota hanya ada angkutan desa. Menurut bli Kadek, bus Sarbagita itu ada taoi jarang lewat karena kurangnya armada bus tapi banyak membuka rute jadi tidak semua rute terpenuhi semua. Rentang waktu penumpang menunggu di halte juga tidak tentu, jadi hanya supir bus dan Tuhan yang tahu. Jadi rata-rata penduduk Bali mempunyai motor dan mobil pribadi untuk transportasi.

Desa Panglipuran

Tiket masuk Rp15.000 dan retirbusi parkir mobil Rp2.000. Saya tidak akan membahas apa itu Desa Panglipuran karena pasti sudah banyak yang membahas tentang desa ini. Saya suka desa ini karena rapi dan teratur, tidak ada sampah berserakan, dan suasananya tenang. Hutan bambu yang ada di desa ini bersih dan lagi-lagi tidak ada sampah.

Desa Panglipuran
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Rumah warga desa bisa Teman Jalan kunjungi untuk membeli camilan, minuman tradisional khas Desa Panglipuran, dan souvenir atau tempat untuk istirahat sebentar sambil berbincang dengan pemilik rumah. Mereka tidak memaksa Teman Jalan untuk berkunjung ke rumahnya membeli dagangan mereka, mereka hanya menawarkan saja ketika Teman Jalan lewat.

Hutan Bambu Desa Panglipuran
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Saya belajar banyak hal dari Desa Panglipuran dengan segala kesederhanaannya, mereka menjaga kebersihan lingkungan dan penghargaan terhadap alam. Bagi mereka, menjaga kebersihan lingkungan dan penghargaan terhadap alam adalah bagian dari karma, jika mereka berbuat baik pada lingkungan dan alam maka alam akan memberi rejeki dan ketenangan hidup. Dapat dibayangkan kalau mereka tidak tekun menjaga kebersihan dan alam maka hasilnya akan berbalik denagna rejeki yang sulit, alam rusak, dan tidak tenang menjalani kehidupan sehari-hari. Hm... kebersihan sebagian dari iman itu ada benarnya juga.

Grand Puncak Sari, Kintamani

Grand Puncak Sari
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Selesai dari Desa Panglipuran, lanjut makan siang di Grand Puncak Sari, Kintamani. Restoran ini lokasinya bagus karena tepat di tengah sehingga pemandangan gunung Batur terlihat lebih bagus. Makan siang dengan sistem buffet.

Saat Teman Jalan masuk restoran, Teman Jalan akan diarahkan ke meja yang disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan ingin di luar atau di dalam restoran. Saya beruntung mendapat meja kosong di luar ruangan jadi bisa sekaligus menikmati pemandangan Gunung Batur.

Pemandangan dari Grand Puncak Sari
foto: dokumentasi pribadi (11/2016)

Makan siang di sini cukup bayar Rp100.000 all you can eat, bayarnya setelah makan dengan meminta bill kepada waiters. Teman Kalan dapat membayar di kasir atau langsung kepada waiters yang membawakan bill.

Makanan yang disajikan banyak macamnya, tidak ada menu daging babi, bagi Teman Jalan yang menyukai sayur akan terpenuhi kebutuhannya karena banyak menu sayuran. Mau buah? Ada. Mau sate? Ada bermacam-macam. Mau minuman hangat atau dingin? Tinggal pilih. Semua yang Teman Jalan butuhkan ada di sini. Ingat, ambil makanan seperlunya dulu, jika masih lapar tinggal tambah lagi. Sayangnya saat itu banyak lalat, entah karena ruangnya terbuka atau makanan tertentu yang mengundang lalat. Kalau ada kesempatan ke Kintamani saya ingin makan siang lagi di sini.

Lanjut Liburan Sendiri di Bali (2)


Yuk, liburan!


Speak Yourself
💜