Warna-warni Pecinan Semarang
Hai!
Saya ikut kegiatan Widya Mitra walking tour di Kawasan Pecinan Semarang yang diadakan sekitar Desember 2017, tapi sebuah cerita tidak akan termakan waktu, 'kan?. Seperti biasa saya akan mengambil beberapa tempat yang menurut saya menarik untuk diceritakan secara singkat.
Kawasan Pecinan
Sejak didirikannya Batavia pada tahun 1619 sampai runtuhnya VOC pada tahun 1800, hubungan antara orang Belanda dan orang Tionghoa pada umumnya tampak baik, tapi pada tahun 1740 terjadilah pembantaian terhadap orang Tionghoa di Batavia yang menyebabkan orang Tionghoa di Semarang dan daerah lainnya di Jawa juga melakukan pemberontakan.
Pembantaian tersebut mempunyai akibat permanen, yaitu diharuskannya orang Tionghoa tinggal di pemukiman-pemukiman khusus yang disebut Kamp, dan mereka tidak diijinkan tinggal di tempat-tempat lain. Pemukiman-pemukiman tersebut disebut Pecinan, dan pola pemukiman tersebut mengakibatkan timbulnya penetapan sistem wilayah. Penetapan sistem wilayah dalam bahasa Belanda disebut wijkenstelsel, bersama dengan ditetapkannya aturan passenstelsel.
Passenstelsel, apa lagi tuh? Passenstelsel adalah aturan yang mengharuskan adanya surat ijin bagi orang Tionghoa yang akan bepergian keluar pemukiman mereka, ya bisa dikatakan aturan tersebut membatasi kebebasan bepergian mereka. Kalian bisa membayangkan tinggal dengan cara dikelompokkan dalam satu pemukiman, masih dibatasi lagi dengan menyerahkan surat ijin bepergian walau hanya sekadar untuk bepergian biasa.
PECINAN SEMARANG
Klenteng Sioe Hok Bio
Klenteng Sioe Hok Bio Foto: dokumentasi pribadi |
Klenteng ini merupakan klenteng tertua di kawasan Pecinan Semarang didirikan pertama kali oleh penduduk Pecinan Semarang pada tahun 1753. Pendiriannya ditanggung bersama oleh penduduk Pecinan Semarang. Klenteng Sioe Hok Bio adalah klenteng tertua di kawasan Pecinan Semarang. Klenteng ini didirikan sebagai ungkapan rasa syukur penduduk Pecinan kepada Dewa Bumi Thouw tee Kong/Tu Di Gong atas berkah kemakmurannya. Letaknya yang berada di depan pertigaan (lokasinya 'tusuk sate' dengan Gang Baru) diyakini dapat melindungi kawasan Pecinan dari energi jahat.
Gang Baru
Bisa kalap jajan kalau di Gang Baru, apalagi kalau suka kuliner. Gang Baru seperti surga kuliner dan bahan makanan dengan kualitas baik. Penjual dan pembeli dari berbagai latar belakang keyakinan dan budaya bertemu dan melakukan transaksi jual-beli dagangan di Gang Baru.
Asinan Sawi
Kalau Korea Selatan punya Kimchi, Semarang punya Asinan Sawi. Proses pembuatannya membutuhkan waktu lima hari, berhasil tidaknya Asinan Sawi bisa diidentifikasi dari baunya. Jika berbau tidak sedap berarti prosesnya gagal.
Manisan Jahe
Kunyahan pertama rasanya manis tapi berikutnya semriwing hangat khas jahe. Selain manisan jahe ada juga manisan lainnya, yang paling saya suka adalah manisan kulit buah naga dan manisan kulit jeruk. Manisan kulit buah naga rasanya asam-manis dan teksturnya empuk.
Manisan kulit buah naga dan kulit jeruk adalah duo manisan enak tiada dua!
Saya lupa ini apa, menurut teman di kelompok saya ini bisa dijadikan tambahan (topping) lauk bubur ayam dan campuran telur dadar. Rasanya asam-manis cenderung asam.
Jajanan kue khas Pecinan
Saya cuma tahu Kue Moho (kanan atas, warnanya putih-pink seperti bolu kukus).
Tiap kue punya fungsinya sendiri misalnya untuk sembahyang, ulang tahun, dan lain-lain. Bagi kita yang tidak melakukan ritual sembahyang tetap bisa makan kue tersebut. Intinya makan seperti biasa dengan baik.
Aneka manisan buah
Aneka permen
Biasanya kita hanya tahu permen susu yang umum dijual, di sini kita bisa menemukan permen susu beraneka rasa.
Bacang
Ingat Bacang, ingat jaman SMP dulu di Lembang setiap istirahat kalau uang jajan sedikit beli Bacang di kantin. Harga ekonomis bikin perut kenyang. Jadi saya sendiri tidak asing dengan Bacang.
Ada tiga varian Bacang di Gang Baru yaitu daging babi, daging ayam dan vegetarian (tanpa isian daging).
Bacang biasanya digunakan untuk persembahan sembahyang, tapi kita juga bisa makan seperti biasa. Bacang merupakan salah satu contoh akulturasi kuliner. Dulu Bacang hanya memiliki varian daging babi, tapi karena banyak orang berasal dari budaya dan agama berbeda dan vegetarian yang ingin makan maka dibuatlah varian lain yaitu daging ayam dan vegetarian (tanpa isian daging).
Kalau kalian suka jajan, cari bahan makanan, dan icip-icip kuliner langsung datang ke Gang Baru. Jangan khawatir bagi kalian yang vegetarian karena di sini banyak tersedia makanan vegetarian terutama sate gluten yaitu sari tepung yang diolah menjadi sate. Kualitas jajanan dan bahan makanan terjamin di sini.
Gang Baru adalah contoh tempat pluralisme dan akulturasi kuliner di Semarang dengan berbagai latar belakang budaya dan keyakinan menjadi satu di sini berbagi rejeki. Gang Baru 'palu gada', apa yang lu butuh gua ada.
Rasa Dharma
Rasa Dharma merupakan perkumpulan warga Tionghoa yang berdiri pada 1876. Menariknya di sini ada sinci altar berukir nama Gus Dur. Di sini juga ada pelatihan kesenian musik tradisional Tionghoa juga, siapa saja boleh bergabung.
Rasa Dharma Foto: dokumentasi pribadi |
Sinci Altar Gus Dur Foto: dokumentasi pribadi |
Foto: dokumentasi pribadi |
Bong Pay
Mengukir Nisan Foto: dokumentasi pribadi |
Bong Pay dalam tradisi etnis Tionghoa merupakan lambang bakti dan penghormatan keluarga terhadap leluhurnya. Selain itu, Bongpay menjadi bagian penting dalam prosesi pemakaman warga etnis Tionghoa.
Foto: dokumentasi pribadi |
Bongpay Gambiran lokasinya berada di persimpangan Gang Gambiran dan Gang Cilik. Bongpay Gambiran merupakan sentra pembuatan batu ukir untuk makam Tionghoa atau sering disebut bong. Bentuknya memiliki ciri-ciri yang khas yaitu nisan berupa batu ukir. Berkembangnya kerajinan Bongpay di Kota Semarang berawal dari sini bahkan pada masa Hindia Belanda kawasan ini menjadi sentra perdagangan dan pusat kerajinan Bongpay.
Ukiran batu yang dibuat dari sebongkah batu utuh Foto: dokumentasi pribadi |
Rumah Kertas
Pengrajin Rumah Kertas, Ong Bing Hok Foto: dokumentasi pribadi |
Rumah kerajinan kertas berlokasi di Gang Cilik. Rumah kertas sebenarnya merupakan salah satu bagian dari ritual masyarakat Tionghoa untuk menghormati para leluhurnya. Caranya dengan membakar pada saat peringatan kematian kerabat atau leluhur mereka. Ada tata cara perthitungan waktu tertentu misal tiga hari, tujuh hari bahkan 49 hari setelah kematian. Abu hasil pembakaran rumah kertas tadi kemudian diarung ke laut sebagai wujud kesempurnaan pengiriman rumah pada leluhur.
Selain replika rumah, ada pula replika uang, mobil, barang-barang mewah, bahkan pesawat. Replika tersebut dipercaya sebagai bekal di alam sana bagi kerabat atau leluhur yang telah meninggal. Pembuatan kerajinan kertas baik dari ukuran dan jumlah disesuaikan dengan keinginan pemesan. Kerajinan kertas ini melayanidaerah di luar Semarang seperti Blora dan Kudus.
Rumah Perkumpulan Kaligrafi
![]() |
Rumah Perkumpulan Kaligrafi Foto: dokumentasi pribadi |
Rumah ini semacam tempat perkumpulan bagi mereka yang ingin belajar kaligrafi dan seni sastra karena kaligrafi tidak sekedar menulis tapi belajar sastra juga. Jika kita ingin menulis quote maka belajarlah dari sumber aslinya, jangan asal mengambil karena nanti maknanya akan berbed bahkan bisa hilang. Menulis kaligrafi sama seperti belajar meditasi, fokus, dan mengolah emosi (emosi tidak hanya marah saja, ya).
Siapa saja boleh belajar kaligrafi di sini 😉
![]() |
Berlatih Kaligrafi Foto: dokumentasi pribadi |
Kawasan Pecinan Semarang punya keunikan, cinta, nyawa dan nafasnya sendiri yang mampu berbaur dengan perbedaan di sekitarnya tanpa meninggalkan jati dirinya.
Main ke Pecinan Semarang, yuk!
Thanks for sharing, sukses terus..
BalasHapusKunjungi juga http://bit.ly/2HdEK6A