Kartini dan Pembaruan

Hai!

Sebenarnya ini sesi berbagi pengalaman menonton film Kartini di bioskop 2 tahun yang lalu. Dulu saya menulisnya di Facebook. Sekarang filmnya sudah tayang di televisi, ya. Sekarang saya bagi di sini, jika ada kesalahan dalam penyebutan nama atau peristiwa mohon koreksinya.

KARTINI

Sumber gambar: Rumah Kartini di Pameran Japara, Festival Kota Lama Semarang (9/2019)

Sebelum berbagi pengalaman tentang film Kartini, saya ingin menyampaikan terlebih dahulu bahwa saya tidak memojokkan siapa pun dan menjelek-jelekkan tradisi sendiri.

Dari menonton film ini saya tambah tahu rasanya hidup dalam tradisi Jawa yang kaku. Ya, sosok Kartini tidak hanya mengenai emansipasi wanita dalam pendidikan saja tapi beliau memiliki pandangan modern mengenai tradisi dan cara beliau mengutarakan pemikiran-pemikiran modern beliau dalam karya tulis.

Saya suka film ini karena mengangkat tentang "perang" untuk melakukan pembaruan tradisi dan pendidikan dalam keluarga bangsawan Jawa dan masyarakat.

TRADISI

Di film ini Kartini mengajak adik-adiknya yaitu Kardinah dan Roekmini kalau tertawa itu ngumbar untu (Ind: tertawa keras). Jaman saya masih kecil, tertawa keras dan berlari di dalam rumah langsung dipukul pakai gulungan koran. Selain itu, kalau Kartini dan adik-adiknya berbicara dengan orang tua selalu menunduk bahkan pembicaraan antarorang dewasa jika mereka tidak dipanggil, ya, tidak akan ikut bergabung makanya ayah Kartini kaget mengapa yang membawa minum untuk tamu bukan rewang tapi Kartini sendiri.

Saya sempat mengalami itu. Saat buyut putri sedang berbincang dan cekakak-cekikik sore dengan tetangga di teras rumah, saya penasaran jadi saya ke luar lalu duduk dekat beliau. Beliau bilang "Kamu mau apa? Mau hitung gigi orang tua, ya? Anak kecil tidak boleh duduk di sini."

Kodrat prempuan selalu menjadi topik hangat jika berbicara mengenai emansipasi wanita. Hal tersebut juga diangkat dalam film ini. Saya selalu tidak suka jika ada teman perempuan bahkan yang sudah berumah tangga (tidak semuanya seperti itu) yang meninggikan 3M kodrat perempuan yaitu Manak (melahirkan anak), Macak (berdandan), dan Masak... buat siapa? Suami, hanya suami. Bagi pemegang teguh 3M menyenangkan suami itu nomor satu agar suami puas lahir dan batin. Bahasa kasar pula, mengibaratkan perempuan itu barang komoditi dan sumber produksi.

Di film, Kartini saja bilang kalau beliau memasak makanan untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang dicintainya. Artinya tidak hanya untuk suami tapi untuk orang-orang di sekelilingnya sekaligus beliau ingin memberi pesan bahwa perempuan juga berhak atas kebahagiaann dan kebebasan pribadi. Melakukan kegiatan yang disenangi itu merupakan kebahagiaan tersendiri.

Bagian yang paling membuat saya senewen itu mengangkat tentang perjodohan, perkawinan, dan poligami. Jadi lebih tahu rasanya jadi istri ke sekian apalagi rasa di hati sebagai istri pertama. Istri pertama yang kecewa tapi tidak mampu banyak bicara, menentang tapi mau tidak mau menjalankan tradisi lokal dan agama. Saya bertanya-tanya semudah itukah laki-laki memilih dan menikahi perempuan mana yang dia inginkan demi menjaga kekuasaannya agar terus eksis?. 

Jujur, saya menangis di dua scenes tentang poligami dan perkawinan. Scene di pinggir danau saat Ngasirah bercerita ke Kartini tentang keikhlasan beliau dimadu, dialognya masih aku ingat:
Ngasirah: Apa yang kamu dapatkan dari aksara Belanda?
Kartini: Kebebasan
Ngasirah: Lalu, apa yang tidak kamu dapatkan?
Kartini: Saya belum tahu
Ngasirah: Bakti... 

Apalagi ditambah scene Kardinah diberi tahu kalau dia dijodohkan dengan seseorang yang tidak dia cintai dan sudah beristri.

Atas bakti yang ingin Kartini jalankan, Kartini memberikan empat syarat sebelum menikah yaitu pertama, tidak ingin melakukan upacara pernikahan yang berbelit. Kedua, tidak ingin mencuci telapak kaki suaminya saat upacara pernikahan. Ketiga, mendirikan sekolah untuk perempuan dan orang miskin. Keempat, memulihkan nama ibunya sendiri dengan memanggil Mas Ajeng dan ditempatkan di rumah depan bukan lagi di rumah belakang.

.... Kartini tidak langsung disambut baik oleh khalayak Indonesia; dan yang lebih menarik lagi adalah bahwa lingkungan Muslim tertentu, terdapat kritik yang cukup keras tentang ide-ide Kartini yang tampak terlalu kebarat-baratan. Dalam salah satu nomor Istri Soesilo, sebuah majalah yang diterbitkan oleh kalangan Islam Solo, pada 1925, terdapat sebuah artikel yang mencela keras sikap Kartini terhadap perkawinan dan poligami, dan menuduhnya sama sekali tidak mengerti Islam. (Lombard, 2018: 137).

Memang benar bahwa sulit sekali mencabut akar yang sudah tumbuh terlalu kuat dan dalam, pembaruan itu akan sulit jika kita tidak bergerak bersama. Melalui Kartini yang memiliki keinginan kuat, beliau menularkan semangat pembaruan itu kepada Kardinah dan Roekmini. 

Menurut saya sebagai penonton, dari pengalaman tradisi tersebut Kartini ingin menyampaikan bahwa perempuan bisa berdiri di atas kaki sendiri dan memiliki hak kebebasan pribadi untuk memilih jalannya sendiri tapi tetap ingat dengan tradisi dan kodratnya. Boleh memperbarui apa yang perlu diperbarui jika itu membawa kebaikan. Menyeimbangkan tradisi dengan pembaruan itu sendiri.


Daftar Pustaka
Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-batas Pembaratan. Jakarta: PT Gramedia.

Bersambung ke Kartini dan Pembaruan (2) 




Speak Yourself
💜