Kartini dan Pembaruan (2)
KARTINI
Sumber gambar: Rumah Kartini di Pameran Japara, Festival Kota Lama Semarang (9/2019) |
Bagian 1 bisa dibaca di sini
PENDIDIKAN
Apa yang terlintas dalam pikiran kalian jika mendengar, membaca, atau sekadar melirik kata Pendidikan?. Bagi saya pendidikan tidak hanya sekadar calistung (baca, tulis, dan hitung) tapi dari sanalah saya bisa bermimpi dan memiliki harapan.
Siapa yang paling pertama ikhlas berkorban demi Kartini kecil agar beliau bisa membaca tulisan? Ibunya, Ngasirah. Siapa orang ke dua yang membuka jalan Kartini untuk lebih dari sekadar membaca? Kakaknya, Sosrokartono. Melalui hal apa agar Kartini kecil bisa membaa aksara? Sekolah. Sederhana tapi jalan yang ditempuh panjang, berliku dan harus pandai menyiasati penghalang yang menghentikan langkahnya.
Kembali lagi dengan 3M Manak, Macak, lan Masak. Ada pendapat bahwa 3M tersebut dapat disangga dengan pendidikan. Benar, tapi apakah masih mau kodrat kalian dibahasakan kasar seperti itu?. Ada pendapat lagi bahwa setinggi apa pun pendidikan dan ijasah perempuan tidak akan berlaku karena nantinya perempuan akan kembali lagi ke dapur
Kartini ingin menyampaikan bahwa perempuan itu masih sesuai kodratnya memasak di dapur, merawat anak, dan bersikap baik terhadap keluarga tapi perempuan juga harus membekali dirinya dengan pikiran yang luas dan berkembang. Jika seorang perempuan tidak bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi, apa yang bisa dilakukannya? Membaca. Sederhana, bukan?. Tinggal diri kita apakah mau membaca atau tidak. Jika membaca terkesan berat, bacalah yang ringan.
Kartini mengajarkan saya bahwa dari membaca kita mampu membuka pikiran dan imajinasi kita pada apa yang kita baca lalu selanjutnya merangkai harapan dan mewujudkan cita-cita dengan melihat lingkungan di sekitar kita.
Scene awal menceritakan ibu kandung Kartini, Ngasirah, ikhlas berpisah dengan Kartini agar KArtini kecil bisa membaca dan menulisa aksara dengan bersekolah, ya, sekali lagi bersinggungan dengan tradisi. Ibu mana yang mau berpisah dengan anaknya, tapi demi Kartini beliau rela berpisah. Satu kalimat yang saya ingat kurang lebih "Jangan seperti ibu, ibu tidak bisa baca tulisan Belanda." Perbandingan itu selalu ada tapi untuk mengubah hal tersebut menajdi lebih baik memang butuh pengorbanan. Ngasirah berusaha untuk "mematikan" diri dan perasaannya untuk kemajuan Kartini.
Berikutnya, scene yang membuat saya tersenyum saat Kartini mengeluh suasana pingitannya yang terkesan sepi, membosankan, dan beliau ingin bebas. Sebelum Sosrokartono berangkat ke Leiden, beliau memberikan sebuah kunci pintu agar Kartini bisa kabur. Kalimat Sosrokartono yang sampai saat ini melekat di pikiran dan sangat saya sukai adalah kurang lebih "Ingat, Nil (dari kata Trinil- nama panggilan kecil Kartini)! Pikiranmu itu jangan dipenjara, tak tunggu di Belanda!". Sosrokartono mau berbagi cita-citanya dengan Kartini. Ada sinergi, ada dukungan positif dari orang terdekatnya bukan mengejek atau meremehkan.
Apa yang Sosrokartono berikan pada Kartini untuk bebas adalah buku. Buku sebagai kunci Kartini membuka pintu pembatas pikirannya, penjaranya. Buku yang akhirnya menyulut "perang" dalam diri Kartini untuk memperbarui jalan pikirannya dan lingkungan sekitarnya.
Kartini tidak hanya membaca buku-buku sendirian, beliau juga mengajak kedua adiknya, Kardinah dan Roekmini. Dari buku juga mereka berani melanjutkan berkirim surat memperluas korespondensi dengan teman-teman Belanda mereka. Mereka ingin bertukar pikiran, mereka ingin wawasan yang baru. Buku-buku itu membawa mereka berimajinasi membayangkan apa yang ada di dalam buku tersebut. Di titik inilah mereka berani melangkah keluar, semakin haus akan pengetahuan baru, dan semakin yakin untuk menambah ilmu pengetahuan mereka.
Mereka merasa tidak cukup hanya dengan membaca saja, mereka ingin melakukan sesuatu dengan keterampilan masing-masing. Kartini dengan kepandaiannya menulis, Kardinah yang pandai menggambar motif ukir, dan Roekmini yang pandai mambatik.
Seperti yang disampaikan Kartini dalam film ini secara tersirat, keterampilanmu adalah bekalmu. Kartini ingin mengembangkan keterampilan para pengukir, sepi pesanan itu wajar tapi bagaimana caranya agar keterampilan mereka tidak mati dan keluarga pengukir juga tidak ikut mati. Apalagi mereka masih terikat dengan kepercayaan bahwa mengukir wujud wayang itu sebuah dosa. Kartini berusaha meyakinkan mereka dengan membuka jalan melalui korespondensi kepada Sosrokartono dan teman Belandanya untuk memamerkan kerajinan ukir. Kartini berhasil membawa kerajinan ukir mereka ke pameran di Belanda. Ada perubahan? Pasti. Perekonomian para pengukir membaik dan tidak ada lagi batasan untuk berkarya karena takut berdosa dan dikutuk Tuhan. Kartini mampu memperbaiki kepercayaan yang sudah lama ada, berani mengambil langkah pembaruan tanpa menggurui.
Saya ingat ejekan Busono kepada para pengukir kalau para pengukir tidak bisa berbahasa Belanda, mereka itu ndeso (kampungan) dan bodoh. Kartini menanggapinya dengan jawaban sederhana bahwa tidak bisa berbahasa Belanda bukan berarti mereka bodoh. Pada jaman sekarang, orang-orang dituntut bisa berbahasa asing minimal bahasa Inggris agar tidak tertinggal arus perkembangan teknologi dan sosial yang semakin gencar. Tidak ada lagi batas berkomunikasi.
Belajar bahasa asing bukan berarti kita lebih mengagungkan bahasa tersebut daripada bahasa daerah dan bahasa Indonesia, tapi dari bahasa asing tersebut kita belajar dunia di luar diri kita dan berteman dengan teman-teman dari asal dan budaya yang berbeda. Manusia adalah makhluk sosial maka cara berkomunikasi yang paling mudah melalui bahasa. Dari sini saya belajar bahwa bisa atau tidaknya seseorang berbahasa asing bukan sebagai tolok ukur kecerdasan seseorang. Bisa berbahasa Belanda atau bahasa asing lainnya belum tentu juga mempunyai keterampilan mengukir contohnya Busono.
Kegiatan membaca Kartini dalam masa pingitan yang mampu membawa pembaruan. Kemauan Kartini untuk membaca. Buku yang membebaskannya, buku yang membawanya melaju mengenal sekitarnya dengan baik dan tahu akan hal-hal yang belum beliau tahu sebelumnya.
Berlanjut di Kartini dan Pembaruan (3)
Speak Yourself
💜